Negara Para Bedebah
Angin malam menampar seluruh tubuhku yang terbalut kain lusuh, kulitku serasa membeku di atas kedua koran yang aku jadikan alas tidur. Telingaku tidak henti-hentinya mendengar suara gemur motor yang berlalu-lalang di atas jalan raya, anakku menggeliat seperti cacing, anakku mungkin masih belum terbiasa dengan suara gaungan motor dan mobil di jalan raya itu. Suara benturan ban motor atau mobil dengan aspal begitu keras bagai guntur di saat langit tengah mendung, ya ini semua akibat jalan yang berlubang.
Aku terbangun dalam pagi yang sejuk, tubuhku terbalut udara yang sejuk pada pagi ini. "Ah udara yang sejuk, andai saja hidupku sesejuk pagi yang menyapaku." Ujarku berangan. Hidupku yang jauh dari kata sempurna alias hina telah menjadi takdirku dan keluargaku saat ini. Kejam, memang kehidupan ini kejam buat orang sepertiku.
Aku langsung bergegas memikul karung untuk aku mencari rezeki tak lupa penyotek yang ku genggam pada tangan kananku. Aku siap berangkat mengais rezeki dengan tong-tong sampah yang berisi harta karun seperti botol pelastik, kertas bekas dan lain sebagainya. "Tuhan sebelum aku berangkat, aku ingin meminta kepadamu sebuah rizki agar dapat pulang lebih awal." Ujarku berdoa kepada Tuhan yang maha Esa.
Langkahku selalu terhenti pada setiap tong sampab yang ada di pinggir jalan maupun yang ada di dekat perumahan. Aku cotek setiap botol-botol pelastik dan kertas bekas untuk aku masukan kedalam karung. Keringat yang membasahi keningku pun tak kuhiraukan demi sesuap nasi untuk keluargaku. Saat aku melangkah kecil menuju salah satu rumah yang amat besar, disitu aku merasa di rendahkan dengan pelakuan sang tuan rumah, yang berpura-pura tak melihatku dan melemparkan sampah tepat kemukaku.
"Oh, maaf saya tidak sengaja, habisnya sih bapaj kaya sampah." Ujar seseorang wanita yang berumur delapan belas tahun, aku merasa terhina dengan perkataan wanita tersebut.
"Non, bapak memang orang yang tak punya apa-apa, tapi bapak punya martabat dan akhlak yang baik, tak seperti non yang akhlaknya seperti sampah." Ujarku geram. Tiba-tiba seorang yang tidak asing lagi dimataku datang menghampiri kita berdua.
"Rasya, ada apa ini ngapain kamu ngobrol dengan dia." Ujar seseorang pria yang tengah menggunakan dasi merahnya.
"Ini pih, orang ini sok punya martabat yang lebih bagus dari aku." Ujar Rasya
"Hahahaha, bagus apanya, baju aja kumuh, dengar pak seratus tahun pun kalo bapak jadi pemuling tidak akan merubah apa-apa pak." Ujar pria berdasi merah ini. Percuma!, sunggu sangat percuma saat aku berbicara disana. Ternyata orang berdasi sepeti dia tidak memiliki martabat yang lebih baik dariku. Ini sebuah kenyataannya dan aku merasa lebih baik dari padanya.
Hari berlalu begitu cepat, mataharipun telah lelah menyinari siang hari ini, langit di ufuk barat menjadi merah, bulan akan siap bangun dan menerangi malam ini. Waktunya aku pulang, karung yang sedari tadi aku pikul kini terasa amat berat, ini adalah sebuah rizki yang di berika oleh Tuhan semesta alam.
Aku melangkah di atas terotoar, seperti seorang yang memiliki jabatan, jalanku pun di terangi oleh lampu-lampu jalan. Indah, sangat indah sekali lampu-lampunh yang menghiasi jalan ini.
"Haus sekali. Aku ingin membeli minum."
Aku bergegas mencari warung dipinggir jalan untuk membeli minum. Langsung saja aku minum dengan sangat semangat untuk melepas dahagaku.
"Wah nikmat sekali." Rasa letih dan haus yang menempel pada diriku kini telah menghilang. Aku mencoba kembali mengambil karung yang ku taruh di bawah kursi yang ku duduki. Loh ko tidak ada, ah kemana karungku . Aku mencoba memeriksa kedalam kolong kursi namun tidak terlihat karung yang tadi ku simpan itu. Hatiku amat menyesal tiada guna, keteledoranku membuat semua usahaku dari pagi hingga malam ini sia-sia. Kutukan pun aku lontarkan kepada siapa yang mengambil karungku yang berisi dengan barang-barang rongsoka. Mungkin ini perbuatan orang yang licik dan biadab sepertiku. Karena betapapun aku tahu ternyata banyak orang-orang yang senasib denganku, namum mereka aga sedikit binyak dan jerih untukenghadapi hal ini. Hak mereka pun terampas oleh para pejabat yang korup dan menyengsarakan mereka, rakyat-rakyat kecil sepertiku ini.
Aku menerka-nerka dalam ingatanku tentang pria berdasi merah yang waktu itu mencemoohku, tidak asing bagiku. Siapakah dia?, apa aku pernah melihatnya di salah satu Tv atau koran yang selaluku pinjam dari agen koran. Ah mungkin perasaanku saja.
Keesokan harinya secara kebetulan aku menyusuri alun-alun kota dan melihat para kerumunan yang berteriak-teriak dengan pengeras suara dan membentangkan tulisan-tulisan yang mewakili suara mereka.
"Turunkan Walikota sekarang, sebelum dia makan habis seluruh bumi yang ada di kota ini, sebelum orang-orang menjadi pemulung di negaranya sendiri, kita harus bersikap tegas dengan politisi yang berzinah dan korupsi atau negri ini akan dilanda musibah Tsunami seperti di Aceh, karena pemimpinnya yang dzalim." Aku langsung bergetar saat perofesiku yang hina disebutkan para demonstran.
Apakah aku korban para pemimpin? Apakah di negri ini ada seseorang pemimpin? Betapapun aku tahu, tidak seorang pemimpinpun yang memperdulikan nasibku, jadi aku merasa tak memilik pemimpin dan melupakannya begitu saja.
Kalau begitu tidak hanya aku semua orangpun merasakan hal ini dan pasti mereka setujuh untuk menghancurkan pemimpin seperti itu dan tidak hanya aku yang mengutuk mereka dengan kata-kata yang tidak etis untuk di dengar, merekapun sama. Aku merasa ada si tengah-tengah para demonstran dan menyurakan amarah kebajikan dan kebaika. Bukankah itu yang di ajarkan agama kepada mereka, apakah para pemimpin kita tidak memiliki agama? .
Padahal pepohonan yang di atas terotoar menjadi saksi bisu dan merasakan sakinya di tusuk oleh paku-paku untuk memajang wajah-wajah mereka dengan senyum manis yang menurutku dibuat-buat, terlihat elegan dengan peci hitamnya dan hijab yang rapat. Aku merasa kasian dengan pepohonan itu yang dijadikan tempat kebohongan-kebohongan mereka dan membuat kumuh kota ini.
Penuh sudah karungku ini, aku sangat bersyukur bisa pulang begitu cepat dari biasanya dan bisa menikmati makan malam bersama keluargaku dirumah.
Dijalan yang dekat rel kereta aku bertemu sahabat senasibku. Kadir dan aku memiliki perofesi yang sama yaitu seorang pemulung. Kulihat gerobak yang dia tarik, telah terisi penuh dengan kertas-kertas bekas. Kami saling bertegur sapa.
"Gimana hasilmu hari ini?." Ujarku, ia tersenyum lebar tidak seperti biasanya.
"Alhamdulilah Par, aku dapat kertas berkilo-kilo tidak seperti biasanya, gimana denganmu? Kenapa kamu pulang lebih awal?." Ujarnya. Memang aku selalu pulang larut malam, namun hari ini aku mendapatkan sebuah rizki yang sangat berarti bagiku dan keluatgaku.
"Alhamdulilah Dir, aku bersyukur bisa dapet sekarung penuh botol pelastik, aku mendapatkannya di alun-alun kota, jadi...." saat aku masih belum berhenti membicarakan hal tersebut Kadir langsung memptongnya.
"Oh, katanya orang-orang akan menurunkan Walikota ya, aku juga mendapatkan kabar itu dari teman-temanku." Padahal aku tidak ingin membahas hal itu lagi.
Berbulan-bulan lamanya tidak sedikitpun ada perubahan tentang kehidupanku, aku merasa hidupku masih amat hina dan profesiku tetap saja menjadi pemulung yang begitu-gitu saja.
Aku pergi melanhkahkan kaki jauh tidak seperti biasanya. Tong sampah kembali menjadi tempat perhentianku, saat aku mencotek dan mencari botol-botol bekas, aku melihat salah satu kertas yang memiliki tulisan yang membuatku muak. Tulisan tersebut berisi "ayo masuk ke organisasi kami dan jadi lah politisi yang handal. Sudah terbukti politisi di organisasi ini telah melejit dan menjadi tempat perekrutan pejabat negri." Tidak aku sadari Universitas kota yang memiliki lantai sepuluh ini adalah pencetak politisi yanh mementingkan perutnya sendiri dan kelompoknya. Beberapa Mahasiswa yang tengah mengobrol dan tertawa terbahak-bahak begitu tenang dan juga ada salah seorang Mahasiswa yang membagikan kertaa yang sama percis dengan kertas yang aku pengang.
Dari kejauhan aku melihat Kadir yang sangat kesusahan untuk melewati jalan-jalan yang berlubang akibat para pemimpin yang korup sehingga guncangan-guncangan tersebut membuat kertas-kertas yang ada di gerobaknya terjatuh berserakan dijalan yang berlubang itu, namun Kadir tidak menyadari itu dia terus menarik gerobagnya jauh yang selalu terbentur dengan jalanan yang berlubang itu sampai-sampai suara benturan itu terdengar bagai guntur saat hujan. Aku berlari untuk mengambil kertas-kerta yang terjatuh itu dan saat kulihat kertas warna-warni itu membuatku sangat kesal dengan gambar para calon bedebah negri ini yang memiliki visi dan misi yang amat memingat hati para rakyatnya namun itu hanyalah janji palsu. "Mari kita buat kota ini menjadi kota Madani." Padahal dia memadanikan dirinya sendiri dengan uang dia nantinya. "Mari bersihka para koruptor negri ini sampai ke akar-akarnya." Padahal mereka belum tentu membersihkan dirinya sendiri.
Para calon pemimpin ini memperlakukan rakyatnya sebagai barang swkali pakai; diperlukan saat pemilihan dan di buang saat memiliki kekuasaan. Kemudia aku ambil seluruh kertas itu dan aku buang ke tong sampah sama seperti janji mereka seperti sampah.
Comments
Post a Comment