Setetes Keringat Mewujutkan Mimpi
“Mat…Mat,
tangi(bangun) Mat uwes subuh (sudah subuh).” Ujar Ibu Lasmi membangunkan Rahmat
yang masih bermimpi menggunakan seragam sekolah yang baru.
“iya
Mak.” Ujar Rahmat yang masih mengucek-ngucek matanya.
“gancang
(cepetan) Sholat subuh.” Ujar Emaknya
Rahmat. Rahmat langsung bergegas menimba air untuk berwudhu.
Pagi-pagi
buta seperti ini Rahmat, Emak, dan Abahnya sudah melakukan aktivitas. setelah
sholat subuh, mereka berjalan dan mengorek-ngorek tong sampah yang ada di
pinggir jalan atau pun memunguti sampah yang berserakan di perjalanan.
Namun
ada hal yang berbeda dalam keluarga ini, ya, Abahnya Rahmat sejak sepuluh tahun
silam mendapatkan musibah harus kehilangan indra penglihatannya, saat itu
Rahmat masih berumur dua tahun, tapi keluarga ini tetap lah saling mencintai
satu sama lainnya walaupun Abahnya harus kehilangan penglihatannya akibat
katarak.
Kekurangan
Abahnya tak dijadikan sebuah alasan Rahmat untuk menyerah pada nasib dalam
dunia pendidikannya. Abahnya walau pun tak memiliki penglihatan lagi tak pernah
terfikir untuk memanfaatkan kekurangannya untuk membuat orang berbelas kasih
padanya dan berdiri meminta-minta di setiap lampu merah untuk mengemis. Abahnya
malah bersemangat untuk mengangkut rongsokan dalam tas karung yang digopoh pada
pundaknya, Emak Rahmat menuntun Abahnya dengan tokngkat, Rahmat sediri yang
mencari barang-barang rongsokan yang berharga untuk sekolahnya kelak.
“Mat,
cobe deleng ning tong sampah kuen
(coba liat di tong sampah itu).” Emaknya Rahmat menunjuk ke tong sampah di
depan rumah Pak Doyo. Rahmat mengangguk dan langsung mencari rongsokan dalam
tong sampah di depan rumah Pak Doyo.
“heh…heh,
apa-apan kamu masuk-masuk kerumah saya, udah gitu bau lagi.” Ujar Rere anak Pak
Doyo yang sedang menggunakan sepatu baru.
“hampure teh (maaf teh), kite (saya) cuma
pengen ngegelati (mencari)….”
“alah
udah alesan aja, bilang aja mau maling, masuknya engga pake salam lagi.” Potong
Rere yang sebel dengan bocah lusu dan berbau tak sedap ini.
“ada
apa ini?.” Ujar Ibu-ibu dengan suara lembut yang keluar dari dalam rumah Pak
Doyo, ternaya ibu-ibu itu adalah
istrinya Pak Doyo.
“itu
tuh mah ada gembel masuk-masuk kerumah engga pake salam lagi udah kaya maling, terus bau lagi iih.” Ujar Rere dengan sinis
“Re,
engga boleh gitu dong, itukan Rahmat tetangga kita, anaknya Bu Lasmi.” Ujar Bu
Doyo dengan nada halus.
“eh
Rahmat, ada apa Rahmat?.” Ujarnya lagi.
“iki
bu, Rahmat cuma pengen ngembil (ngambil) rongsokan ning tong sampah.” Ujar
Rahmat kepada Bu Doyo.
“tuhkan
Re, Rahmat cuma mau ngambil sampah doang, bukan mau maling.” Ujar Bu Doyo
menjelaskan dengan lembut kepada Rere anak semata wayangnya ini. Rere mengkerutkan dahinya bertanda kekesalan
ibunya yang membela Rahmat.
“Mat
sue (lama) amat sih, wakeh teh (banyak tah) rongsokanne?.” Ujar Emak Rahmat. Rahmat hanya
tersenyum kepada Emaknya.
“keh bah, tak panjingaken ya (dimasukin
ya) rongsokanne.” Ujar Rahmat sambil memasukan rongsokan kedalam tas karung
yang sedang digopoh Abahnya.
Pagi-pagi
selanjutnya Rahmat, Emak dan Abahnya
selalu melakukan aktivitas yang sama, mencari sesuap nasi dan mengumpulkan uang
untuk sekolahnya Rahmat.
Rahmat
selalu mengendap-endap dan berpura-pura mencari rongsokan di Sekolah Dasar
Lialang yang berdekatan dengan rumahnya,
Rahmat selalu mengintip untuk melihat dan mengetahui asiknya bersekolah dan
duduk didalam kelas sambil berbicang-bincang dengan teman baru.
Kapan ya Rahmat bise sekole, bisiknya
dalam hati. Rahmat mengintip dari jendela dan mendengarkan apa yang dibicarakan
oleh Ibu yang berseragam batik di depan anak-anak yang sedang bergembira.
“heh,
kamu ini siapa?.” Ujar Bapak-bapak yang sedang memegang sapu dan serokan
dikedua tangannya itu.
“ooh,
ore pak, kite Cuma ngegelati rongsokan.” Ujar Rahmat kepada Bapak-bapak
pemengang sapu itu. Rahmat langsung bergegas pulang
Keesokan
harinya Rahmat kembali kesekolah yang kemarin, namun Rahmat datang kesekolah
tersebuat aga kesiangan. Murid-murid
SD tersebut sedang ramai-ramainya bermain dan ada juga yang sedang jajan di
Kantin sekolah.
Rahmat
menghampiri anak-anak yang sedang bermain ‘si orang kaya dan orang miskin’.
“eh
olih ore kite milu?(boleh engga saya
ikut?).” Ujar Rahmat kepada anak-anak itu.
“iih,
kamu siapa?, ko bajunya kotor banget, bau lagi. Engga boleh, udah sana pergi, bau
tau.” Ujar salah seorang dari anak-anak itu. Sontak Rahmat langsung berlari
sambil meneteskan air mata di kedua pipinya. Rahmat pulang dengan muka kusam
dan selalu membisu dalam teras rumahnya yang hampir roboh atapnya.
“Mat,
kelipen sirane (kenapa kamunya)?.”
Ujar Emaknya yang merasa khawatir.
“Mak,
Rahmat pengen sekole, kaye uwong-uwong (kaya
orang-orang).” Ujar Rahmat kepada Emaknya. Emak Rahmat hanya bisa memasang muka
muram dan membisu dengan perkataan anaknya itu.
Abahnya
yang hanya bisa mendengarkan pun mengerti perasaan anaknya, Abanya turut
bersedih dan hanya bisa mengumpat dalam dirinya sendiri. Dalam sebuah doa
Abanya kepada Tuhan mengatakan :
Ya, Allah jadikan lah keringat dan
jiripayah aku, istriku dan anakku bisa menjadikan mimpi anakku terwujud.
“sabar
ya Mat, semoge tahun arep bise sekole
kaye uwong-uwong.” Ujar Abanya kepada anaknya itu.
Rahmat
hanya bisa merenungi keadaan keluarganya sekarang ini, namun dia selalu optimis
dan kembali bersemangat untuk mengumpulkan rongsokan untuk biaya pendidikannya
itu. Rahmat selalu berdoa kepada Tuhan agar bisa seperti orang-orang yang bisa
sekolah, bisa menemukan teman baru, baju baru dan sepatu sekolah baru.
Comments
Post a Comment