Latar Belakang dan hikmah pernikahan Nabi Muhammad Saw
Foto: Rafi |
Pernikahan
Muhammad Saw bukanlah semata-mata untuk kepentingan nafsu syahwatnya, seperti
para orientalis yang menilai bahwa Rasul adalah seorang yang memiliki nafsu
syahwat yang tinggi dan melakukan wanita dengan semena-mena. Justru, para
wanita yang dinikahi nabi Muhammad Saw, menjadi wanita yang terhapus kesedihan
dan beban penderitannya, kokoh keimanannya, serta terangkat, terlindungi dan
terjaga kehormatan juga kemuliaannya. Ini lah yang membuat kita sebagai umatnya
terkagum-kagum, setelah sepeninggalan rasul pun istri-istri beliau menjadi
penerus dakwah Islam dengan keutamaan ilmu yang dimilikinya. Mengutip H.A.R.
Gibb, penulis “Mohammedanism” (1953 :
33), “ itulah perbaikan (Muhammad Saw) yang mengangkat status wanita secara
umum yang diakui seluruh dunia.”
Nabi
pun memiliki alasan mengapa menikahi wanita-wanita yang beliau nikahi. Ada delapan
point yang melatar belakangi pernikahan yang dilakukan oleh Muhammad Saw,
seperti dalam buku berjudul Manajemen
Cinta Sang Nabi karangan Sopian Muhammad. Pertama Melindungi dan menjaga kehormatan kemuliaan wanita, kedua menolong/menghibur yang mengalami berbagai
penderitaan, sekaligus penghormatan/penghargaan terhadap suaminya yang gugur di
jalan jihad, ketiga mempererat
persahabatan/ persaudaraan demi memperkuat barisan islam, keempat mempersiapkan penerus dakwah Nabi dari kalangan wanita, kelima memperkokoh keimanan serta
bermaksud melunakkan hati tokoh Quraisy yang memusuhi kaum muslimin, keenam mendobrak atau meluruskan tradisi
kejahiliyahan, ketujuh mengislamkan
dan menjalin persaudaraan/ perdamaian antara kaum muslimin dengan Yahudi, kedelapan mengislamkan sekaligus
mengangkat drajat wanita dari perbudakan.
Melindungi dan menjaga kehormatan kemuliaan
wanita, Khadijah binti Khuwailid adalah janda terkaya di Makkah. Sebelum dinikahi
Nabi, ia menjadi incaran sejumlah lelaki yang cenderung bermaksud memanfaatkan
kekayaan yang dimilikinya. Khadijah menolak mereka termasuk pinangan tokoh
Quraisy, Abu Jahal, yang di kemudian hari ternyata sangat keras menentang
dakwah islam.
Khadijah,
melalui seorang pembantunya, menyampaikan ketertarikannya kepada pemuda
Muhammad serta berniat untuk bisa mendampingi beliau sebagai istrinya. Muhammad
menyambutnya sehingga kehormatan dan kemuliaannya terlindungi di tengah tradisi
kaum lelaki yang terbiasa merendahkan derajat perempuan.
Khadijah
mengabdikan diri dan membelanjakan hartanya di jalan dakwah. Berbagai riwayat
mengungkap, Khadijah adalah istri yang paling disayangi. Sepeninggalannya,
Rasul selalu mengenang Khadijah dan menjalin hubungan baik dengan orang-orang
dekatnya.
Menolong/ menghibur janda yang mengalami
berbagai penderitaan, sekaligus penghormataan/ penghargaan terhadap suaminya
yang gugur di jalan jihad. Saudah binti Zum’ah, Hafsah binti Umar bin
Khathab, Zainab binti Khuzaimah, dan Ummu Salmah binti Abu Umayyah adalah
istri-istri Rasul yang awalnya janda korban perang – kecuali Saudah, suaminya
syahid di perjalanan pulang dari negeri hijrah, Habasyah, ke Makkah. Sebagian
para janda tersebut, usianya jauh lebih tua dari nabi, serta memiliki banyak
anak yatim. Mereka dinikahi setelah/ tidak lama pasca peperangan.
Mempererat persahabatan/ persaudaraan demi
memperkuat barisan Islam. Hafsah binti Umar bin Khathab dan Aisyah binti
Abu Bakar adalah putri dari dua sahabat Nabi. Mereka merupakan dua pemuka di
masyarakatnya yang tercatat sebagai orang-orang yang sangat berperan dalam
memperkuat barisan kaum muslimin.
Awalnya,
Umar bin Khattab, merasa sedih dengan kesendirian/ penderitaan putrinya
(Hafsah) sehingga ia meminta kepada kesediaan Abu Bakar dan Utsman bin Affan
untuk menikahinya. Keduanya menolak hingga Nabi bersedia menikahi wanita itu. Umar
merasa sangat senang dan bahagia dengan keputusan Nabi. Sedangkan alasan dari
pernikahan Rasul dengan Aisyah binti Abu Bakar, diulas pada bagian berikutnya.
Mempersiapkan generasi penerus
dakwah Nabi dari kalangan wanita. Keilmuan Aisyah
binti Abu Bakar dan peran dakwahnya, jauh melampaui istri-istri Nabi yang lain.
Istri yang dikenal paling cerdas itu paling lama mendampingi Rasul sehingga
dirinya banyak meriwayatkan banyak hadits, serta paling lama (banyak)
memperoleh pendidikan dan bimbingan langsung dari beliau. Kedudukannya sebagai
wanita mulia nan shalihah dengan keutamaan ilmu yang dimilikinya melekat pada
diri Aisyah.
Entah,
apa yang terjadi dengan Aisyah, seandainnya ia tidak menikah dengan Rasul,
melainkan menikah dengan seorang lelaki kafir, yang sebelumnya memang pernah
dalam status pinangannya. Allah menetapkan kebaikan dari pernikahan mereka.
Memperkokoh keimanan serta bermaksud
melunakkan hati tokoh Quraisy yang memusuhi kaum muslimin. Ummu Habibah
binti Abu Sufyan seorang wanita yang berada d negeri hijrah, Habasyah
(Ethiopia), suaminya murtad dan meninggal dunia. Jiwa janda beranak ini
tergoncang menghadapi kenyataan menyakitkan ini. Dia sering menyendiri dan
menutup diri. Padahal, dirinya telah bersusah payah ikut hijrah demi
mempertahankan keimanan; menghindari kekejaman kaum musyrik Makkah.
Demi
keimanan pula, Ummu Habibah sudah menunjukan kerelaan berpisah dengan orangtuanya
di Makkah, mengingat ayahnya, Abu Sufyan, adalah pemuka Quraisy Makkah yang
mempelopori perlawanan terhadap dakwah Nabi dan kaum muslimin.
Beratnya
ujian keimanan yang menghantam jiwa Ummu Habibah terdengar oleh Nabi di
Madinah. Singkat riwayat, pernikahan jarak jauh pun berlangsung. Hingga kemudian
Ummu Habibah diboyong ke Madinah dan hidup mulia dan bahagia bersama Nabi. Sebuah
sumber mencatat, sikap Abu Sufyan terhadap Nabi dan kaum muslimin mulai
melunak.
Motif
memperkokoh keimanan tampaknya menyertai pula tujuan di balik pernikahan Rasul
dengan Maimunah binti Al-Harits. Semula ia janda cerai dari suami pertamanya,
Mas’ud bin Amru Ats-Tsaqafi. Lelaki ini tidak senang terhadap Maimunah yang
memihak islam.
Dalam
riwayat lain, suami Maimunah adalah Abu Rahmin – catatan lain menyebut Abu
Ruham bin Abdul Uzza – yang wafat dalam keadaan musyrik. Terkait status janda
membuat hidup Maimunah terkatung-katung. Hingga kemudian dia menghibahkan
dirinya kemada Nabi untuk dinikahi (QS. Al-Ahzab : 50).
Entah,
apa yang bakal terjadi dengan Maimunah, seandainnya Rasul menolak menikahi
wanita yang tengah mengalami kemalangan tersebut, secara ikhlas mempersembahkan
dirinya diperistri beliau.
Mendobrak atau meluruskan tradisi
kejahiliyahan. Pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy berdimensi wahyu
(lihat QS. Al-Ahzab : 37). Melalui pernikahan tersebut, Allah Swt bermaksud
agar Nabi mendobrak atau meluruskan tradisi kejahiliyahan yang menganggap tabu
bahkan mengharamkan pernikahan seseorang laki-laki dengan janda cerai dari anak
angkatnya seperti halnya pernikahan Nabi dengan Zainab.
Jika
bukan karena petunjuk dari Allah, rasanya tidak mungkin beliau melakukan itu
mengingat konsekuensinya bakal menerima cemoohan masyarakat termasuk dari para
pengikut beliau. Mereka menganggap, pernikahan beliau dengan Zainab dapat
meruntuhkan harga diri dan kewibawaannya sebagai seorang Rasul.
Lebih
tidak mungkin lagi, Nabi melakukan seperti tuduhan pihak-pihak yang membencinya
bahwa beliau merebut Zainab dari suami syahnya, Zaid bin Haritsah (anak angkat
Nabi). Padahal, bisa saja Rasul menikahinya tanpa harus lebih dahulu
menikahkannya dengan Zaid, apalagi Nabi dan Zainab sekufu. Kenyataannya, Rasul
justru sengaja menikahi Zaid dengan Zainab dan mengadakan walimahan
pernikahannya. Beliau bermaksud memberikan yang terbaik untuk putra angkatnya
itu; menikahkannya dengan Zainab, wanita yang status sosial dan nasabnya yang
baik. tetapi, karena ternyata persoalan nasab Zaid yang berlatar belakang
seorang budak (hamba sahaya), membuat Zainab merasa sulit “menyesuaikan diri”
layaknya sebagi istri. Setelah sekitar dua tahun berumahtangga, perceraian pun
tak terhindarkan.
Mengislamkan dan menjalin persaudaraan/
perdamaian antara kaum muslimin dengan Yahudi. Juairiyyah binti Al-Harits
Al-Khuzaiyyah dan Shafiyah binti Huyay Akhtab adalah janda korban perang dari
pihak musuh. Saat Juairiyyah menjadi tawanan kaum muslimin, Nabi membebaskan
serta menawarinnya untuk dinikahi. Putri dari pemimpin Yahudi Bani Musthaliq
ini merasa senang sehingga pernikahan berlangsung. Merasa amat terkesan dengan
sikap dan perlakuan Nabi dan kaum muslimin, ayah Juairiyyah dan sebagian kaum
Bani Musthaliq pun akhirnya memeluk islam. Persaudaraan dan perdamaian mewarnai
hubungan kaum muslimin dengan Bani Musthaliq.
Shafiyah
binti Huyay Akhtab juga janda perang dari pihak musuh, kaum Yahudi Bani Nadhri.
Shafiyah menjadi tawanan perang yang kemudian dibebaskan dan dinikahi Nabi. Di samping
mengislamkan Shafiyah, pernikahan tersebut juga bermotifkan demi menjalin
persaudaraan dengan kaum Bani Nadhir.
Mengislamkan sekaligus mengangkat derajat
wanita dari perbudakan. Mariyah Al-Qibthiyah merupakan satu-satunya istri
Nabi Muhammad Saw yang berasal dari Mesir. Ia seorang bekas budak beragama
Kristen, hadiah dari Raja Muqauqis dari Mesir. Berkat pernikahan tersebut,
selain mengislamkan dan memperkokoh keimanan Mariyah, Nabi juga mengangkat
derajat itu dari statusnya sebagai budak, menjadi wanita terhormat, mulia, dan
shalihah.
Itu
lah yang melatarbelakangi pernikahan Nabi Muhammad Saw, siapapun pasti akan
terkagum-kagum dengan pernikahan Nabi yang berdimensi kemanusiaan, sosial,
politik, dan dakwah itu.
Comments
Post a Comment